Pages

Senin, 08 Oktober 2012

'Ungu', Menginspirasi!!



Selama ini warna ungu umumnya diidentikkan dengan janda, mistis maupun kearoganan. Namun, menurutku semua itu salah. Karena dalam konsep warna dasar Red-Green-Blue yang dituangkan dalam singkatan RGB menjadikan ungu sebagai warna yang memiliki arti yang luar biasa.  Tiga warna dasar yang dijadikan patokan warna secara universal (primary colors).
Dengan basis RGB, kita bisa mengubah warna ke dalam kode-kode angka sehingga warna tersebut akan tampil universal. Ada pemrograman berbasis text, misal xBase (dBase/FoxPro/Clipper), warna RGB ini didefinisikan dengan sangat sederhana yaitu dengan perintah dasar SET COLOR TO warnaRGB.
R = Red (Merah)
G = Green (Hijau)
B = Blue (Biru)
W = White (Putih)
N = None (tanpa warna atau Hitam)
Pada pemrograman GUI, maka RGB memiliki spektrum yang lebih luas dibanding era text-based. Beberapa tools menggunakan RGB dengan nilai 0 s/d 255. Ada juga yang menggunan nilai hexadecimal dari nilai 00 sampai dengan FF. Layaknya warna ungu yang merupakan kombinasi dengan perbandingan kurang lebih R:G:B= 146:54:155.
Kita tahu bahwa warna biru memili sifat ketenangan dan kelembutan. Warna merah memiliki sifat pemberani. Sedangkan, hijau berarti empati dan membangkitkan energi. Lalu, mengapa perbandingan terbesar ada ditangan si Biru, lalu disusul dengan Merah dan terakhir Hijau dengan perbandingan yang begitu besar?. Karena ‘ungu’ hadir sebagai sosok yang terlihat pemberani namun ketenangan dan kelembutan selalu dirasakan dengan siapa saja yang ada di dekatnya dan  ‘ungu’ selalu menebarkan empati dan berusaha untuk membangkitkan energi. ‘ungu’ hanya hadir dengan keanggunannya yang selalu menginspirasi lingkungannya. Bukan sebagai janda arogan yang menyendiri hingga dijauhi oleh orang-orang sehingga ia datang dengan aura mistis yang seram mengundang hantu  kehidupan.
‘ungu’ pun bukan sekedar warna tunggal layaknya warna lain yang hadir dalam warna saja. Meskipun ia ada karena penggabungan ketiga warna dasar, namun ia dapat menghadirkan banyak pesona yang tak dapat dihadirkan oleh warna lain. Kecerdasan dalam mencampurkan berbagai warna sangat kuat membius insan menjadikan ia tetap anggun dalam berbagai rupa.
Ia tegar ketika warna tua dan warna muda dipadukan menjadi satu. Ia lembut ketika ia hadir dengan warna mudanya. Ia terlihat mewah saat ketuaanya tampak kuat. 

Dialah Wanita!


Ketika kita membicarakan masalah wanita maka tidak akan habis untuk mendiskusikannya. Memang asik jika tema wanita itu kita angkat untuk dibicarakan. Mungkin tidak saja untuk dibicarakan, sekedar untuk di dituangkan dalam tulisan, maupun menggoreskannya dalam berbagai warna yang menjadi lukisan yang indah. Dialah makhluk indah yang diciptakan Allah dari tulang rusuk.
Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas. Jika kamu meluruskannya, sama artinya kamu memecahkannya. Jika kamu biarkan, dia akan tetap bengkok. Karena itulah, kamu harus selalu memberikan nasihat-nasihat kebaikan. (HR. Muslim)
Begitu pula ia adalah sesosok yang  begitu kuat dan melindungi. Dibalik kelembutan, ketulusan dan kasih sayangnya. Dialah yang mampu menampakkan kelembutannya dibalik kekuatannya. Dialah yang terlihat ketulusan dibalik keperkasaannya. Dia pula yang penuh kasih sayang dibalik ketangguhannya menghadapi masalah. Dialah wanita. Dialah satu-satunya makhluk yang bisa menggantikan peran lawan jenisnya. Maka tidak jarang kita melihatnya tersenyum dalam tangisnya. Tapi bagaiman ketika wanita menuntut hak lebih dari pria? Akankah fitrah imam dalam kehidupan ini akan tergantikan oleh sosok itu? Lalu, dimana letak kefitrahan yang sesungguhnya? Apakah kaum hawa cenderung ditempatkan pada posisi yang dinilainya tidak menguntungkan? Sehingga memunculkan wacana RUU Kesetaraan Gender? Lalu, apakah dampak yang akan terjadi apabila RUU Kesetaraan Gender benar-benar di legalkan di Indonesia?
Memanng jika kita lihat sangat banyak wanita Indonesia yang masih berada dalam garis ketidakwajaran contohnya adalah Jannette Husainy, atau akrab disapa Janet yang berprofesi sebagai sopir angkot. Selama 16 tahun, ia menjalani profesi yang tidak biasa bagi kaum perempuan ini. Lain halnya dengan Kastini dari Tuban, Jawa Timur. Seorang Ibu rumah tangga  yang berprofesi sebagai tukang becak. Perempuan bertubuh kurus ini memilih untuk menjadi tukang becak demi membantu perekonomian keluarganya. Begitu pula masih banyak wanita-wanita yang lebih perkasa dari mereka ada yang menjadi sopir truk, tukang parkir, kuli pasar, sopir taksi bahkan dunia konstruksi tidak kalah saingan untuk melirik kaum-kaum hawa yang ada di Indonesia, sekedar menjadi kuli-kuli bangunan. Dengan berbagai alasan wanita tidak begitu rewel, tidak boros menghabiskan pesangon, serta kinerjanya lebih cekatan dibandingkan kuli laki-laki. Tanpa memperhatikan dampak negatif bagi kesehatan kuli-kuli wanita itu. Namun, satu-satunya alasan mereka yang menjadi objek itu adalah alasan klasik yang belum bisa di tuntaskan oleh negara ini. Alasan Ekonomi. Bukan keinginan mereka ataupun di tindas.

Bahkan jauh sebelum RUU ini benar-benar diwacanakan, RUU ini sudah mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Meskipun menurut Ketua Komisi VIII, Ida Fauziah mengungkapkan bahwa komisinya akan berkunjung  ke Dermark dan Norwegia. Kunjungan ini, kata Ida, bertujuan mencari masukan guna menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Kesetaraan Gender. Kenapa Denmark dan Norwegia yang dipilih, sebab kedua negara ini memiliki kebijakan yang bagus dalam masalah gender. "Gender policy-nya bagus, masuk 10 besar di dunia," kata Ida di Gedung DPR, Kamis 5 April 2012. Namun, tetap adanya RUU Kesetaraan Gender dinilai mempunyai berbagai dampak yang luar biasa.

Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) menolak secara keseluruhan pasal demi pasal dalam RUU Kesetaraan Gender, karena dinilai sebagai produk sekuler yang bertentangan dengan Islam dan fitrah manusia. Pertama, RUU ini bersifat sekular dan tidak berlandaskan nilai-nilai agama sehingga bertentangan dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni pengakuan kepada Allah Yang Mahakuasa sebagai penganugerah nikmat kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal Pembukaan UUD 1945 menyatakan, bahwa bangsa Indonesia telah mengakui Allah SWT sebagai Tuhan mereka, dan seharusnya juga mengakui kedaulatan Allah Yang Maha Kuasa untuk mengatur kehidupan mereka.

Kedua, RUU ini terlalu memaksakan nilai-nilai lokal peradaban Barat yang sekular,  liberal, dan materialistik,  tentang konsep dan kedudukan perempuan,  menjadi nilai-nilai universal yang harus dipeluk oleh semua bangsa di dunia. Padahal, berbagai bangsa memiliki nilai-nilai yang khas. Bangsa Indonesia yang telah mengakui kedaulatan Allah Yang Maha Kuasa, dalam pembukaan konstitusinya, seharusnya tidak mudah terseret arus globalisasi dan westernisasi yang terbukti telah menjerumuskan umat manusia ke jurang kehampaan dan ketidakpatian nilai, sehingga menjauhkan mereka dari kehidupan yang bahagia.
Ketiga, RUU ini telah menafikan dan mengecilkan arti dan peran perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga, sebagai pendamping suami dan pendidik anak-anaknya. Partisipasi perempuan dalam pembangunan hanya diukur berdasarkan keaktifannya di ruang publik.  Sangat ironis, jika pandangan semacam ini diterapkan hanya untuk mengejar peringkat Human Development Index. Padahal, konsep dan cara pandang seperti ini akan memunculkan ketidakharmonisan dan bahkan penderitaan bagi perempuan itu sendiri, karena peran yang dijalankannya didapat melalui belas kasih dan pemaksaan porsi gender dan bukan karena kapabilitas dan kehormatan pribadinya.
Keempat, RUU ini bertentangan fitrah manusia yang telah dikaruniakan Allah Yang Maha Kuasa,  di mana laki-laki dan perempuan diciptakan dengan potensi masing-masing untuk saling melengkapi dan bekerjasama dalam berbagai aspek kehidupan.  Allah Yang Maha Kuasa telah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan penganggung jawab keluarga yang wajib berlaku adil, beradab, dan penuh  kasih sayang,  dalam ber-mu’asyarah dengan perempuan.
Dari berbagai analisa masing-masing organisasi dan LSM yang ada di Indonesia menjadi point khusus untuk pertimbangan pelegalan RUU Kesetaraan Gender ini. Bahkan pernikahan sesama jenis yang terjadi di berbagai negara pun menjadi salah satu dampak dari pelegalan Kesetaraan Gender.

Ilmu Menyusup Hingga Akhir Nafas Ku

“Belajarlah kamu dari ayunan sampai liang lahat”


            Pepatah sekaligus motivasi itulah yang mungkin kini sudah mulai dilupakan oleh para generasi muda di negeri kita tercinta. Di salah satu stan dalam pameran buku di Gedung Wanita Kota Semarang, ada obralan buku cukup murah aku menemukan sebuah pemandangan yang tidak biasa aku temukan disekitarku. Pemandangan sederhana namun, kuat menggetarkan ku. di tengah banyaknya pembeli yang memilah-milah buku, mata ku tertuju pada salah satu pelanggan yang berada di sudut obralan buku. Ia duduk terdiam sambil mengamati sebuah buku. Jika yang lain sibuk membolak-balik buku, namun yang ini beda. Ia duduk dengan postur tubuh yang sedikit membungkuk, dan sebuah meletakkan sebuah buku bersampul merah sangat dekat dengan wajahnya. Hanya berjarak kurang lebih 3-5 cm. Ternyata ia adalah seorang lelaki tua yang punggungnya sudah sedikit membungkuk. Ia seorang yang umurnya sudah berlanjut dengan sepasang sendal jepit buluk. Ia kakek tua yang matanya sudah tidak lagi jelas melihat, maka dari itu ia menggunakan bantuan sebuah lensa kecil seperti bekas lensa kaca mata. Lensanya bukan lensa yang aku lihat menawan, namun yang aku lihat lensanya di kaitkan dengan sebuah batang besi yang melingkar menggunakan seutas tali rafia hitam.
Lama ia mengamati resensi buku yang terletak dibelakang buku itu, lalu ia berdiri dengan sedikit meluruskan tubuhnya yang memang sudah tidak mungkin lagi tegak dengan sempurna. Lalu, ia merogoh kantung celana biru tuanya yang sudah compang-camping sebelah kanan. Ia mengeluarkan uang receh dan ribuan yang sudah kucel.  Menghitungnya secara perlahan. Saat Beliau sibuk menghitung receh-recehnya, aku mendekatinya.
“Selamat malam Mbah
“ Eh malam nduk. Simbah boleh minta tolong?”
“Insyaallah Mbah
“Tolong bantu mbah  menghitung uang receh ini”
“memang harga buku ini berapa mbah?”
Simbah  ndak tahu nduk, tapi tulisane belakang ini Rp. 40.000”
“Buku ini buat siapa mbah?”
“Buat simbah lah nduk”
Kok Cuma beli satu mbah?”
ndak cukup nduk duitnya”
            Seketika itu juga air mata ini menetes. Lalu segera ku raih buku yang akan dibeli kakek itu. Aku bergegas lari ke kasir dan menyelesaikan pembayaran. Aku serahkan buku itu ke kakek tua, dengan senyum tipis ku. sebelum kakek itu pergi meninggalkan ku, kakek itu berniat membayarku dengan uang recehnya yang dimasukkan plastik kresek.
“Ini nduk, untuk ngganti, tapi maaf kalau misal uang simbah kurang”
“Aku kembali memasukkan uang itu dalam kantong plastik bersama buku yang simbah itu  bawa”
Setelah mengucapkan terimakasih, lalu kakek tua itu pergi dengan wajah yang luar biasa senangnya. Jauh di kegembiraan kakek itu, batin ini menagis. Menerima begitu keras tamparan yang baru saja aku terima. Kehadiran kakek itu menyadarkan ku atas bodohnya hal-hal  yang sudah aku lakukan. begitu sombongnya aku terhadap ilmu, hingga jarang sekali aku menyentuh buku.
Percikan kisah nyata diatas seharusnya menjadi cermin bangsa ini. Bagaimana bangsa yang besar ini sulit sekali untuk menghargai sebuah ilmu. Hingga banyak hal di negeri ini yang dengan sengaja di rampas oleh orang-orang asing. Dengan mudah mereka mengklaim kekayaan bangsa kita. Denagn mudah juga mereka memanfaatkan generasi negeri ini. Namun, tidak ada reaksi apapun dari bangsa ini. Begitulah gambaran negeri kita,  kita lebih menghargai iming-iming  dari pada menghargai ilmu yang kita miliki.
Namun, jika tidak mulai dari saat ini, kapan lagi kita sebagai pemuda membangun kembali negeri ini.