Ketika
kita membicarakan masalah wanita maka tidak akan habis untuk mendiskusikannya.
Memang asik jika tema wanita itu kita angkat untuk dibicarakan. Mungkin tidak
saja untuk dibicarakan, sekedar untuk di dituangkan dalam tulisan, maupun
menggoreskannya dalam berbagai warna yang menjadi lukisan yang indah. Dialah
makhluk indah yang diciptakan Allah dari tulang rusuk.
Sesungguhnya
wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok
adalah bagian atas. Jika kamu meluruskannya, sama artinya kamu memecahkannya.
Jika kamu biarkan, dia akan tetap bengkok. Karena itulah, kamu harus selalu
memberikan nasihat-nasihat kebaikan. (HR. Muslim)
Begitu
pula ia adalah sesosok yang begitu kuat
dan melindungi. Dibalik kelembutan, ketulusan dan kasih sayangnya. Dialah yang mampu
menampakkan kelembutannya dibalik kekuatannya. Dialah yang terlihat ketulusan
dibalik keperkasaannya. Dia pula yang penuh kasih sayang dibalik ketangguhannya
menghadapi masalah. Dialah wanita. Dialah satu-satunya makhluk yang bisa
menggantikan peran lawan jenisnya. Maka tidak jarang kita melihatnya tersenyum
dalam tangisnya. Tapi bagaiman ketika wanita menuntut hak lebih dari pria?
Akankah fitrah imam dalam kehidupan ini akan tergantikan oleh sosok itu? Lalu,
dimana letak kefitrahan yang sesungguhnya? Apakah kaum hawa cenderung
ditempatkan pada posisi yang dinilainya tidak menguntungkan? Sehingga
memunculkan wacana RUU Kesetaraan Gender? Lalu, apakah dampak yang akan terjadi
apabila RUU Kesetaraan Gender benar-benar di legalkan di Indonesia?
Memanng
jika kita lihat sangat banyak wanita Indonesia yang masih berada dalam garis
ketidakwajaran contohnya adalah Jannette Husainy, atau akrab disapa Janet yang
berprofesi sebagai sopir angkot. Selama 16 tahun, ia menjalani profesi yang
tidak biasa bagi kaum perempuan ini. Lain halnya dengan Kastini dari Tuban,
Jawa Timur. Seorang Ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai tukang
becak. Perempuan bertubuh kurus ini memilih untuk menjadi tukang becak demi membantu
perekonomian keluarganya. Begitu pula masih banyak wanita-wanita yang lebih
perkasa dari mereka ada yang menjadi sopir truk, tukang parkir, kuli pasar,
sopir taksi bahkan dunia konstruksi tidak kalah saingan untuk melirik kaum-kaum
hawa yang ada di Indonesia, sekedar menjadi kuli-kuli bangunan. Dengan berbagai
alasan wanita tidak begitu rewel, tidak boros menghabiskan pesangon, serta
kinerjanya lebih cekatan dibandingkan kuli laki-laki. Tanpa memperhatikan
dampak negatif bagi kesehatan kuli-kuli wanita itu. Namun, satu-satunya alasan
mereka yang menjadi objek itu adalah alasan klasik yang belum bisa di tuntaskan
oleh negara ini. Alasan Ekonomi. Bukan keinginan mereka ataupun di tindas.
Bahkan jauh sebelum RUU ini
benar-benar diwacanakan, RUU ini sudah mendapatkan kecaman dari berbagai pihak.
Meskipun menurut Ketua Komisi VIII, Ida Fauziah mengungkapkan bahwa komisinya
akan berkunjung ke Dermark dan Norwegia. Kunjungan ini, kata Ida,
bertujuan mencari masukan guna menyusun Rancangan Undang-undang (RUU)
Kesetaraan Gender. Kenapa Denmark dan Norwegia yang dipilih, sebab kedua negara
ini memiliki kebijakan yang bagus dalam masalah gender. "Gender policy-nya bagus, masuk 10 besar di
dunia," kata Ida di Gedung DPR, Kamis 5 April 2012. Namun, tetap adanya
RUU Kesetaraan Gender dinilai mempunyai berbagai dampak yang luar biasa.
Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) menolak secara
keseluruhan pasal demi pasal dalam RUU Kesetaraan Gender, karena dinilai
sebagai produk sekuler yang bertentangan dengan Islam dan fitrah manusia. Pertama, RUU ini bersifat sekular
dan tidak berlandaskan nilai-nilai agama sehingga bertentangan dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni pengakuan kepada Allah Yang Mahakuasa sebagai
penganugerah nikmat kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal
Pembukaan UUD 1945 menyatakan, bahwa bangsa Indonesia telah mengakui Allah SWT
sebagai Tuhan mereka, dan seharusnya juga mengakui kedaulatan Allah Yang Maha
Kuasa untuk mengatur kehidupan mereka.
Kedua, RUU ini
terlalu memaksakan nilai-nilai lokal peradaban Barat yang sekular,
liberal, dan materialistik, tentang konsep dan kedudukan perempuan,
menjadi nilai-nilai universal yang harus dipeluk oleh semua bangsa di dunia. Padahal,
berbagai bangsa memiliki nilai-nilai yang khas. Bangsa Indonesia yang telah
mengakui kedaulatan Allah Yang Maha Kuasa, dalam pembukaan konstitusinya,
seharusnya tidak mudah terseret arus globalisasi dan westernisasi yang terbukti
telah menjerumuskan umat manusia ke jurang kehampaan dan ketidakpatian nilai,
sehingga menjauhkan mereka dari kehidupan yang bahagia.
Ketiga, RUU ini
telah menafikan dan mengecilkan arti dan peran perempuan sebagai Ibu Rumah
Tangga, sebagai pendamping suami dan pendidik anak-anaknya. Partisipasi
perempuan dalam pembangunan hanya diukur berdasarkan keaktifannya di ruang
publik. Sangat ironis, jika pandangan semacam ini diterapkan hanya untuk
mengejar peringkat Human Development Index. Padahal, konsep dan
cara pandang seperti ini akan memunculkan ketidakharmonisan dan bahkan
penderitaan bagi perempuan itu sendiri, karena peran yang dijalankannya didapat
melalui belas kasih dan pemaksaan porsi gender dan bukan karena kapabilitas dan
kehormatan pribadinya.
Keempat, RUU ini
bertentangan fitrah manusia yang telah dikaruniakan Allah Yang Maha
Kuasa, di mana laki-laki dan perempuan diciptakan dengan potensi
masing-masing untuk saling melengkapi dan bekerjasama dalam berbagai aspek
kehidupan. Allah Yang Maha Kuasa telah menempatkan laki-laki sebagai
pemimpin dan penganggung jawab keluarga yang wajib berlaku adil, beradab, dan
penuh kasih sayang, dalam ber-mu’asyarah dengan perempuan.
Dari berbagai analisa
masing-masing organisasi dan LSM yang ada di Indonesia menjadi point khusus
untuk pertimbangan pelegalan RUU Kesetaraan Gender ini. Bahkan pernikahan
sesama jenis yang terjadi di berbagai negara pun menjadi salah satu dampak dari
pelegalan Kesetaraan Gender.