Pages

Senin, 08 Oktober 2012

Ilmu Menyusup Hingga Akhir Nafas Ku

“Belajarlah kamu dari ayunan sampai liang lahat”


            Pepatah sekaligus motivasi itulah yang mungkin kini sudah mulai dilupakan oleh para generasi muda di negeri kita tercinta. Di salah satu stan dalam pameran buku di Gedung Wanita Kota Semarang, ada obralan buku cukup murah aku menemukan sebuah pemandangan yang tidak biasa aku temukan disekitarku. Pemandangan sederhana namun, kuat menggetarkan ku. di tengah banyaknya pembeli yang memilah-milah buku, mata ku tertuju pada salah satu pelanggan yang berada di sudut obralan buku. Ia duduk terdiam sambil mengamati sebuah buku. Jika yang lain sibuk membolak-balik buku, namun yang ini beda. Ia duduk dengan postur tubuh yang sedikit membungkuk, dan sebuah meletakkan sebuah buku bersampul merah sangat dekat dengan wajahnya. Hanya berjarak kurang lebih 3-5 cm. Ternyata ia adalah seorang lelaki tua yang punggungnya sudah sedikit membungkuk. Ia seorang yang umurnya sudah berlanjut dengan sepasang sendal jepit buluk. Ia kakek tua yang matanya sudah tidak lagi jelas melihat, maka dari itu ia menggunakan bantuan sebuah lensa kecil seperti bekas lensa kaca mata. Lensanya bukan lensa yang aku lihat menawan, namun yang aku lihat lensanya di kaitkan dengan sebuah batang besi yang melingkar menggunakan seutas tali rafia hitam.
Lama ia mengamati resensi buku yang terletak dibelakang buku itu, lalu ia berdiri dengan sedikit meluruskan tubuhnya yang memang sudah tidak mungkin lagi tegak dengan sempurna. Lalu, ia merogoh kantung celana biru tuanya yang sudah compang-camping sebelah kanan. Ia mengeluarkan uang receh dan ribuan yang sudah kucel.  Menghitungnya secara perlahan. Saat Beliau sibuk menghitung receh-recehnya, aku mendekatinya.
“Selamat malam Mbah
“ Eh malam nduk. Simbah boleh minta tolong?”
“Insyaallah Mbah
“Tolong bantu mbah  menghitung uang receh ini”
“memang harga buku ini berapa mbah?”
Simbah  ndak tahu nduk, tapi tulisane belakang ini Rp. 40.000”
“Buku ini buat siapa mbah?”
“Buat simbah lah nduk”
Kok Cuma beli satu mbah?”
ndak cukup nduk duitnya”
            Seketika itu juga air mata ini menetes. Lalu segera ku raih buku yang akan dibeli kakek itu. Aku bergegas lari ke kasir dan menyelesaikan pembayaran. Aku serahkan buku itu ke kakek tua, dengan senyum tipis ku. sebelum kakek itu pergi meninggalkan ku, kakek itu berniat membayarku dengan uang recehnya yang dimasukkan plastik kresek.
“Ini nduk, untuk ngganti, tapi maaf kalau misal uang simbah kurang”
“Aku kembali memasukkan uang itu dalam kantong plastik bersama buku yang simbah itu  bawa”
Setelah mengucapkan terimakasih, lalu kakek tua itu pergi dengan wajah yang luar biasa senangnya. Jauh di kegembiraan kakek itu, batin ini menagis. Menerima begitu keras tamparan yang baru saja aku terima. Kehadiran kakek itu menyadarkan ku atas bodohnya hal-hal  yang sudah aku lakukan. begitu sombongnya aku terhadap ilmu, hingga jarang sekali aku menyentuh buku.
Percikan kisah nyata diatas seharusnya menjadi cermin bangsa ini. Bagaimana bangsa yang besar ini sulit sekali untuk menghargai sebuah ilmu. Hingga banyak hal di negeri ini yang dengan sengaja di rampas oleh orang-orang asing. Dengan mudah mereka mengklaim kekayaan bangsa kita. Denagn mudah juga mereka memanfaatkan generasi negeri ini. Namun, tidak ada reaksi apapun dari bangsa ini. Begitulah gambaran negeri kita,  kita lebih menghargai iming-iming  dari pada menghargai ilmu yang kita miliki.
Namun, jika tidak mulai dari saat ini, kapan lagi kita sebagai pemuda membangun kembali negeri ini. 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan sampean buat mrinding... ruh sampean stabil.

"Setelah mengucapkan terimakasih, lalu kakek tua itu pergi dengan wajah yang luar biasa senangnya. Jauh di kegembiraan kakek itu, batin ini menagis. Menerima begitu keras tamparan yang baru saja aku terima. Kehadiran kakek itu menyadarkan ku atas bodohnya hal-hal yang sudah aku lakukan. begitu sombongnya aku terhadap ilmu, hingga jarang sekali aku menyentuh buku."

Posting Komentar