Pepatah sekaligus motivasi itulah yang mungkin kini sudah mulai dilupakan oleh para generasi muda di negeri kita tercinta. Di salah satu stan dalam pameran buku di Gedung Wanita Kota Semarang, ada obralan buku cukup murah aku menemukan sebuah pemandangan yang tidak biasa aku temukan disekitarku. Pemandangan sederhana namun, kuat menggetarkan ku. di tengah banyaknya pembeli yang memilah-milah buku, mata ku tertuju pada salah satu pelanggan yang berada di sudut obralan buku. Ia duduk terdiam sambil mengamati sebuah buku. Jika yang lain sibuk membolak-balik buku, namun yang ini beda. Ia duduk dengan postur tubuh yang sedikit membungkuk, dan sebuah meletakkan sebuah buku bersampul merah sangat dekat dengan wajahnya. Hanya berjarak kurang lebih 3-5 cm. Ternyata ia adalah seorang lelaki tua yang punggungnya sudah sedikit membungkuk. Ia seorang yang umurnya sudah berlanjut dengan sepasang sendal jepit buluk. Ia kakek tua yang matanya sudah tidak lagi jelas melihat, maka dari itu ia menggunakan bantuan sebuah lensa kecil seperti bekas lensa kaca mata. Lensanya bukan lensa yang aku lihat menawan, namun yang aku lihat lensanya di kaitkan dengan sebuah batang besi yang melingkar menggunakan seutas tali rafia hitam.
Lama
ia mengamati resensi buku yang terletak dibelakang buku itu, lalu ia berdiri
dengan sedikit meluruskan tubuhnya yang memang sudah tidak mungkin lagi tegak
dengan sempurna. Lalu, ia merogoh kantung celana biru tuanya yang sudah
compang-camping sebelah kanan. Ia mengeluarkan uang receh dan ribuan yang sudah
kucel. Menghitungnya secara perlahan.
Saat Beliau sibuk menghitung receh-recehnya, aku mendekatinya.
“Selamat
malam Mbah”
“
Eh malam nduk. Simbah boleh minta tolong?”
“Insyaallah
Mbah”
“Tolong
bantu mbah menghitung uang receh ini”
“memang
harga buku ini berapa mbah?”
“Simbah ndak
tahu nduk, tapi tulisane belakang ini Rp. 40.000”
“Buku
ini buat siapa mbah?”
“Buat
simbah lah nduk”
“Kok Cuma beli
satu mbah?”
“ndak cukup nduk duitnya”
Seketika itu juga air mata ini
menetes. Lalu segera ku raih buku yang akan dibeli kakek itu. Aku bergegas lari
ke kasir dan menyelesaikan pembayaran. Aku serahkan buku itu ke kakek tua,
dengan senyum tipis ku. sebelum kakek itu pergi meninggalkan ku, kakek itu
berniat membayarku dengan uang recehnya yang dimasukkan plastik kresek.
“Ini
nduk, untuk ngganti, tapi maaf kalau misal uang simbah kurang”
“Aku
kembali memasukkan uang itu dalam kantong plastik bersama buku yang simbah itu bawa”
Setelah
mengucapkan terimakasih, lalu kakek tua itu pergi dengan wajah yang luar biasa
senangnya. Jauh di kegembiraan kakek itu, batin ini menagis. Menerima begitu
keras tamparan yang baru saja aku terima. Kehadiran kakek itu menyadarkan ku
atas bodohnya hal-hal yang sudah aku
lakukan. begitu sombongnya aku terhadap ilmu, hingga jarang sekali aku
menyentuh buku.
Percikan
kisah nyata diatas seharusnya menjadi cermin bangsa ini. Bagaimana bangsa yang
besar ini sulit sekali untuk menghargai sebuah ilmu. Hingga banyak hal di
negeri ini yang dengan sengaja di rampas oleh orang-orang asing. Dengan mudah
mereka mengklaim kekayaan bangsa kita. Denagn mudah juga mereka memanfaatkan
generasi negeri ini. Namun, tidak ada reaksi apapun dari bangsa ini. Begitulah
gambaran negeri kita, kita lebih
menghargai iming-iming dari pada menghargai ilmu yang kita miliki.
Namun,
jika tidak mulai dari saat ini, kapan lagi kita sebagai pemuda membangun
kembali negeri ini.
1 komentar:
Tulisan sampean buat mrinding... ruh sampean stabil.
"Setelah mengucapkan terimakasih, lalu kakek tua itu pergi dengan wajah yang luar biasa senangnya. Jauh di kegembiraan kakek itu, batin ini menagis. Menerima begitu keras tamparan yang baru saja aku terima. Kehadiran kakek itu menyadarkan ku atas bodohnya hal-hal yang sudah aku lakukan. begitu sombongnya aku terhadap ilmu, hingga jarang sekali aku menyentuh buku."
Posting Komentar